Beberapa waktu terakhir, para pelaku usaha umrah dan masyarakat ramai membahas maraknya informasi umrah mandiri atau umrah backpacker. Banyak pihak yang tertarik dengan broadcast yang berseliweran di beranda media sosial. Saya pun tertarik untuk sesekali ikut membaca isinya seperti apa.
Salah satu Group What's App yang diikuti penulis, sering ada info promosi umrah backpaker yang dikirim para pelaku usaha umrah (pimpinan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah/PPIU). Tentu saja mereka bukan pihak yang menawarkan. Mereka lebih pada meminta pemerintah untuk tidak membiarkan praktik umrah yang jelas melanggar regulasi. Terlebih umrah backpacker juga dapat mengancam eksistensi bisnis mereka.
Lalu apa sebenarnya umrah backpacker tersebut? Apakah umrah backpacker sesuai dengan peraturan perundang-undangan kita? Dan apakah umrah tersebut ada risikonya?
Umrah backpaker lebih mudahnya adalah umrah yang dilaksanakan secara mandiri tanpa melibatkan travel umrah. Masyarakat akan mencari visa sendiri, pesan tiket penerbangan sendiri, bahkan booking hotel di Arab Saudi dilakukan sendiri tanpa melalui jasa travel umrah. Memang benar bahwa visa umrah saat ini dapat dipesan secara mandiri melalui aplikasi Nusuk Arab Saudi. Aplikasi ini memang dibuat Arab Saudi agar mempermudah orang mendapatkan visa umrah. Pun begitu dengan pemesanan tiket pesawat dan akomodasi di Arab Saudi. Banyak tersedia platform digital untuk pemesanannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat memang bisa secara mandiri mendapatkannya.
Regulasi Penyelenggaraan Umrah
Masyarakat harus tahu, bahwa UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) mengatur tata cara WNI yang akan beribadah umrah. Pasal 86 menyebutkan bahwa umrah dapat dilaksanakan secara perseorangan dan berkelompok melalui PPIU.
Dalam berbagai kesempatan, banyak yang bertanya: berarti yang wajib melalui PPIU hanya yang umrah berkelompok? Tentu konsepnya tidak begitu, kawan. Semua yang akan beribadah umrah baik secara perseorangan maupun berkelompok harus melalui PPIU. Hal ini bukan semata-mata untuk pemesanan bisa, tiket, dan hotel. Namun jauh lebih banyak dari itu.
PPIU merupakan badan hukum yang menjadi semacam sponsor di luar negeri dan bertanggung jawab atas keselamatan, keamanan, dan kenyamanan jemaah umrah. Itu salah satu alasan umrah wajib melalui PPIU. Keberangkatan umrah melalui PPIU lebih menekankan pada unsur pelindungan, bukan hanya sekedar mengantar orang yang akan beribadah.
Bila dilihat dari kesesuaian umrah backpaker dengan peraturan perundang-undangan, jelas tidak sesuai. Ada banyak regulasi yang ditabrak, salah satunya Pasal 86 UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Belum lagi bicara tentang ada tidaknya pihak yang turut serta membantu, mengumpulkan, memberangkatkan, menerima setoran biaya umrah yang dikoordinir. Pasal 115 UU PIHU mengatur bahwa setiap orang dilarang tanpa hak bertindak sebagai PPIU, mengumpulkan dan/atau memberangkatkan jemaah umrah. Pasal 117 juga melarang pihak yang tidak memiliki izin sebagai PPIU menerima setoran biaya umrah.
Ancaman dari larangan Pasal 115 dan Pasal 117 tersebut bukan kaleng-kaleng. Larangan tersebut masuk kategori pidana. Pelanggaran Pasal 114 akan dipenjara paling lama 6 tahun atau dipidana denda paling banyak 6 miliar rupiah. Sedangkan pelaku larangan Pasal 116 dapat dipidana lebih berat lagi, yaitu 8 tahun atau denda 8 milyar rupiah. Bahkan bila ditemukan ada PPIU yang memfasilitasi keberangkatan umrah Non PPIU dikenai sanksi administratif sampai pada pencabutan izin berusaha.
Risiko
Lantas, apakah ada risiko bagi pelaku umrah backpacker? Tentu ada banyak risiko bagi mereka yang umrah backpaker secara mandiri tanpa melalui PPIU.
Data jemaah umrah dari Indonesia yang dihimpun dari Sistem Komputerisasi Pengelolaan Terpadu Umrah dan Haji Khusus (Siskopatuh) menunjukkan bahwa mayoritas jemaah umrah berpendidikan menengah ke bawah, belum pernah bepergian ke luar negeri, berusia lanjut, didominasi perempuan, dan berasal dari desa. Mereka identik dengan masyarakat yang belum memiliki pengalaman ke luar negeri, termasuk Arab Saudi. Mereka tidak mengetahui regulasi penerbangan internasional, tidak memahami regulasi Arab Saudi, bahkan tidak mengenal kultur masyarakat Arab.
Bila kelompok masyarakat tersebut melaksanakan umrah backpacker, tentu mereka membutuhkan pendampingan. Mereka rentan terhadap penipuan. Bila sudah tertipu, tentu akan sangat merepotkan banyak pihak. Jemaah backpaker tidak memiliki akses untuk mengurus hak-haknya jika mengalami persoalan, termasuk saat di Arab Saudi.
Bila terlantar misalnya, maka sangat mungkin mereka akan menjadi overstayer atau tinggal melebihi batas waktu visa. Ada denda besar menunggu dan dipastikan akan dideportasi oleh otoritas Arab Saudi. Efek deportasi juga tidak kalah menyeramkan, yaitu dilarang masuk Arab Saudi dalam waktu 10 tahun. Lalu, bagaimana bila mereka memiliki antrean haji dalam kurun waktu tersebut? Pasti mereka juga dilarang melintas imigrasi bandara Arab Saudi dan tidak dapat melaksanakan ibadah haji.
Mereka juga rawan sakit karena cuaca ekstrem dan tidak mendapatkan layanan standar. Sebagai contoh, pada bulan lalu ditemukan jemaah umrah backpaker berusia lanjut yang ditinggal kelompoknya karena harus menjalani perawatan di Rumah Sakit yang ada di Jeddah. Ketika jemaah tersebut telah dinyatakan sembuh dan boleh pulang, ternyata tidak ada pihak yang bersedia memulangkan karena berangkat tanpa melalui PPIU.
Ditemukan juga jemaah umrah yang meninggal dunia, bahkan sejak sebelum operasional haji, tapi belum dimakamkan. Kenapa? karena tidak ada yang mengurus izin pemakaman disebabkan ketidakjelasan pihak yang memberangkatkan. Belum lagi soal surat kematian bagi jemaah meninggal. Bila tidak ada PPIU yang memberangkatkan maka akan kesulitan dalam penerbitan Surat Kematian sebagai administrasi kependudukan di Indonesia.
Bukan hanya itu, mereka juga berpotensi melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum dan tradisi masyarakat Arab Saudi. Bila jemaah umrah backpaker melanggar hukum Arab Saudi, tidak ada pihak yang dapat membantu proses hukumnya. Pelanggaran-pelanggaran tersebut tentu akan merusak nama baik bangsa dan negara Indonesia di mata dunia.
Sumber : https://kemenag.go.id/